Opini : Tanjakan Hiliyan Ghubok, Jejak Sejarah dan Semangat Kemerdekaan di Sukarami
- account_circle Admin
- calendar_month Kam, 14 Agu 2025
- comment 0 komentar

Oleh : Wirawansyah (Relawan Pembanguan Swadaya Tanjakan Pekon Sukarame, Kecam,atan Balik Bukit, Lampung Barat)
Opini, LambarXpose.com – Di antara gemuruh musik panggung perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia, di antara bendera merah putih yang berkibar di setiap sudut negeri, ada satu sudut kecil di Lampung Barat yang merayakan kemerdekaan dengan cara berbeda: menghidupkan kembali kenangan dan semangat di Tanjakan Hiliyan Ghubok.
Bagi orang luar, ia mungkin hanya sepotong jalan menanjak, licin, dan berkelok. Tetapi bagi masyarakat Pekon Sukarami dan kampung-kampung di sekitarnya, tanjakan ini adalah saksi bisu dari ratusan kaki yang pernah tertatih, puluhan punggung yang pernah dibasahi peluh, dan tekad yang tak pernah patah oleh kerasnya tanah maupun derasnya hujan.
Kampung di Ujung Tikungan Waktu
Dulu, kampung ini bernama Umbul Limau. Letaknya di pojok Kecamatan Balik Bukit, hanya bisa diakses lewat jalur tanah sempit yang licin saat hujan dan berdebu saat kemarau. Kuda beban dan kerbau plered adalah satu-satunya “kendaraan” yang sanggup melaluinya.
Namun, masyarakat di sini tidak pernah pasrah pada keterpencilan. Dengan cangkul, belencong, dan parang seadanya, mereka mencungkil tanah, menata pohon, menebas rumpun bambu, sedikit demi sedikit memperlebar jalur. Dari hasil musyawarah, nama Umbul Limau pun diganti menjadi Sukarami — sebuah doa agar kelak kampung ini ramai bukan karena bencana, melainkan karena kehidupan yang berdenyut.
Setiap Tikungan Punya Nama dan Cerita
Di era 80-an, setiap lekuk Tanjakan Hiliyan Ghubok punya cerita.
-
Bah Linsuh: jalur perlintasan harimau, kadang menyisakan tapak kaki di tanah becek.
-
Simpang Bamban: titik mengatur napas sebelum menantang Teba Kupit — jalur sempit yang hanya muat satu kuda atau kerbau plered. Jika dua rombongan berpapasan, salah satunya harus mengalah.
-
Rumpun Skala: pos jaga alam, tempat menunggu giliran melewati Teba Kupit.
-
Simpangan Way Kedu & Bah Kedu: menyimpan kisah mistis — ular besar, aroma minyak wangi, hingga makhluk tak kasat mata.
-
Tikungan Among Mardani: turunan tajam 90 derajat yang menuntut keseimbangan dan nyali.
-
Jerambah Way Ghubok: awalnya dari bambu betung bersimpul rotan, kemudian menjadi kayu beratap seng, menjadi tempat berteduh atau sekadar mengatur napas.
Bagi generasi 90-an, masih terngiang teriakan para joki kuda beban:
“Up… up… awas… awas… lihat beban… ck… ck… ck…”
Gotong Royong dan ABRI Masuk Desa
Puncak perubahan datang ketika program ABRI Masuk Desa (AMD) menyentuh wilayah ini. Gotong royong tak lagi milik Sukarami saja, tetapi juga milik masyarakat dari seluruh Kecamatan Balik Bukit (yang kini terbagi menjadi Balik Bukit dan Sukau) serta Kecamatan Belalau (yang kini menjadi Belalau, Batu Brak, Suoh, Bandar Negeri Suoh, dan Batu Ketulis).
Mereka bekerja berhari-hari, berminggu-minggu, tanpa mesin dan tanpa gaji. Disiplin militer berlaku: siapa yang terlambat atau bermalas-malasan akan dihukum push-up atau direndam di Way Ghubok.
Pantun warisan yang tak jelas siapa penciptanya masih hidup hingga kini:
Mucecok ghik mutegi, teba Hiliyan Ghubok
Kubiti mak lugi ni, ku pelebon mak dapok.
Artinya:
Sungguh tinggi dan terjal tanjakan Hiliyan Ghubok,
Tak lepas dari ingatan, selalu terkenang di hati.
Kerja keras itu mengangkat status jalan ini menjadi onderlagh, lalu beraspal. Tetapi seperti manusia, jalan pun menua. Aspal mulai retak, lubang menganga, licin menjadi ancaman.
Jalan Menua, Janji Tak Kunjung Datang
Ironi pun lahir. Jalan ini adalah urat nadi bagi Sukarami, Bahway, Cenggiring Ujung, dan Hanakau, tetapi perhatian pemerintah datangnya jarang, singkat, dan sering terlambat — seperti hujan bulan Juni.
Korban kecelakaan sudah tak terhitung, hingga orang berhenti dan lupa menghitungnya. Akhirnya, warga kembali ke cara lama: musyawarah dan swadaya. Kini, sebuah pos donasi berdiri di tepi jalan. Mereka tahu, menunggu janji itu seperti menunggu harimau menjadi vegetarian — bukan mustahil, tapi siapa yang berani menjamin?
Merdeka yang Sesungguhnya
Di usia ke-80 NKRI, Tanjakan Hiliyan Ghubok bukan hanya jalan penghubung. Ia adalah monumen hidup dari makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Bahwa merdeka bukan hanya lepas dari penjajahan, tetapi juga berdaulat atas langkah sendiri, menolak menyerah pada rintangan, dan percaya bahwa peluh lebih berharga daripada janji yang tak pasti.
Merah putih bukan hanya kain di tiang, tetapi peluh di dahi dan punggung mereka yang menjaga dan mengisi kemerdekaan.
Merdeka!
Selamat Ulang Tahun NKRI ke-80.
Dari Sukarami, kami kirim doa dan kabar: semangat 1945 itu masih hidup di sini. (*)
- Penulis: Admin
Saat ini belum ada komentar