Lamban Budaya Gedung Pancasila: Megah dalam Fisik, Hampa dalam Fungsi
- account_circle Admin
- calendar_month Ming, 13 Jul 2025
- comment 0 komentar

Oleh Redaksi LambarXpose
Lampung Barat, LambarXpose – Di pusat pemerintahan Kabupaten Lampung Barat, berdiri sebuah bangunan megah bernama Lamban Budaya Gedung Pancasila. Secara simbolik, gedung ini seharusnya menjadi ruang hidup bagi kebudayaan lokal-tempat pertemuan nilai, tradisi, dan ekspresi seni masyarakat Lampung Barat.
Namun kenyataan di lapangan menimbulkan tanya besar: apakah gedung ini benar-benar hidup sebagai “lamban budaya”? Atau justru berubah menjadi sekadar bangunan seremonial yang kehilangan jiwa?
Selama ini, satu-satunya kegiatan budaya berskala nasional-Festival Sekala Bekhak -seringkali dilaksanakan di luar gedung ini. Di lapangan terbuka, objek wisata, atau panggung-panggung luar ruangan. Lamban Budaya yang dibangun dengan biaya publik justru jarang menjadi pusatnya.
Apakah ini mencerminkan tantangan dalam pengelolaan gedung budaya? Atau menunjukkan bahwa belum ada strategi kultural yang matang dari pemerintah daerah untuk menjadikan gedung ini sebagai pusat kegiatan budaya yang sesungguhnya?
Jika ruang budaya hanya digunakan untuk rapat dinas, pertemuan formal, atau kegiatan birokrasi lainnya, maka perlu ada refleksi ulang tentang fungsi aslinya. Dalam konteks ini, publik berhak bertanya: di mana letak keberpihakan terhadap pelestarian budaya lokal?
Kita tentu memahami bahwa membangun fisik gedung adalah langkah awal. Namun membangun ruh budaya-menjadikan tempat itu hidup oleh seni, tradisi, dan ekspresi masyarakat-adalah tantangan sesungguhnya. Tantangan yang membutuhkan komitmen, kebijakan, dan keberpihakan nyata.
Membangun gedung fisik memang bisa dilakukan lewat anggaran. Tapi membangun “jiwa” budaya di dalamnya-itu adalah tugas jangka panjang yang memerlukan komitmen, kolaborasi, dan keberpihakan nyata.
Dan di sinilah pentingnya peran Kepaksian Sekala Bekhak. Sebagai entitas adat yang memiliki akar sejarah dan ruang khusus di Lamban Budaya, kepaksian seharusnya lebih aktif dalam mengawal arah dan fungsi gedung ini. Bukan hanya sebagai simbol, tetapi juga sebagai penggerak yang memberi masukan, arahan, bahkan tekanan moral kepada pemerintah daerah agar tidak kehilangan orientasi terhadap nilai-nilai budaya lokal.
Jika Kepaksian Sekala Bekhak dan pemangku adat diam, maka Lamban Budaya akan kehilangan penuntunnya. Jika pemerintah daerah tidak membuka ruang dialog, maka fungsi budaya akan terus tersisih oleh kepentingan birokrasi sesaat.
Gedung ini bukan hanya milik pemerintah-tapi milik rakyat dan budayanya. Maka, menjaga marwah Lamban Budaya adalah tanggung jawab bersama.
Jangan sampai generasi muda di Lampung Barat tumbuh tanpa pernah menyaksikan tari Cangget, mendengar irama gamolan, atau mengenal pepatah adat, hanya karena tempat yang seharusnya menjadi panggung budaya, tidak difungsikan sebagaimana mestinya.
Kini, harapan itu kembali berpulang kepada para pengambil kebijakan:
Apakah Lamban Budaya Gedung Pancasila akan tetap menjadi simbol diam tanpa peran?
Atau justru bisa dibangkitkan kembali menjadi pusat kebudayaan yang hidup, inklusif, dan membanggakan?
Masyarakat menunggu langkah konkret. Karena budaya tidak akan bertahan hanya lewat narasi nostalgia-ia butuh ruang, aksi, dan keberanian untuk diprioritaskan.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan bagian dari opini publik yang bertujuan mendorong diskusi konstruktif mengenai peran dan fungsi Lamban Budaya Gedung Pancasila di Kabupaten Lampung Barat. Redaksi LambarXpose.com meyakini bahwa keberadaan fasilitas publik yang dibangun dengan dana rakyat harus dijalankan sesuai dengan tujuannya—dalam hal ini, sebagai pusat pelestarian dan pengembangan budaya lokal.
Kami menghargai setiap upaya pemerintah daerah, pemangku adat, serta komunitas budaya yang telah berkontribusi dalam menjaga warisan tradisi. Namun, kami juga berkewajiban menyuarakan kritik ketika fungsi ruang budaya mulai bergeser dari semangat awal pembentukannya.
Redaksi membuka ruang klarifikasi, tanggapan, maupun masukan dari pihak terkait, baik pemerintah daerah, instansi teknis, maupun unsur adat seperti Kepaksian Skala Beak, demi perbaikan bersama.
Budaya tidak bisa berjalan sendiri. Ia butuh dukungan, ruang, dan keberanian untuk dihidupkan-secara kolektif. (*)
- Penulis: Admin
Saat ini belum ada komentar