Opini: Pj Peratin Tanpa Domisili Lokal, Pemimpin Tanpa Akar
- account_circle Admin
- calendar_month Kam, 3 Jul 2025
- comment 0 komentar

Oleh: Redaksi LambarXpose
Opini, LambarXpose – Di tengah geliat pembangunan desa dan upaya memperkuat pemerintahan pekon di Lampung Barat, justru muncul ironi yang menyakitkan: banyak Penjabat (Pj) Peratin yang tak berdomisili di pekon, bahkan tak berada dalam satu kecamatan. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang asing dengan tanah yang ia pimpin?
Ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi soal urgensi moral, legitimasi sosial, dan kemampuan eksekusi kebijakan di tingkat akar rumput. Tanpa domisili lokal, seorang Pj Peratin hanyalah tamu yang sah secara SK, tapi tidak sah secara nurani masyarakat.
Pemimpin yang Tak Tinggal Bersama Warganya Adalah Pembohongan Struktural
Bagaimana mungkin seorang Pj Peratin dapat memahami permasalahan rakyat, jika ia bahkan tidak merasakan denyut kehidupan pekon itu? Ia tidak menyaksikan jalan berlubang setiap hari, tidak mendengar suara adzan dari surau tua, tidak merasakan cemasnya warga saat musim hujan datang menghantam sawah dan pematang. Ia cuma tahu masalah dari laporan staf – itu pun kalau laporannya jujur.
Apa jadinya kalau keputusan-keputusan penting dibuat oleh seseorang yang datang ke kantor pekon hanya saat jam kerja, lalu pulang ke rumahnya puluhan kilometer jauhnya di luar kecamatan? Kita sedang mempertaruhkan kualitas pemerintahan pekon kepada figur yang “ada” secara fisik, tapi tidak hadir secara batin.
Domisili di Satu Kecamatan: Standar Minimal yang Wajib Hukumnya
Sudah bukan zamannya lagi menjadikan jabatan Pj Peratin sebagai formalitas politik atau pelengkap jabatan ASN yang sedang “menganggur.” Harus dipahami, pekon adalah jantung masyarakat – pusat interaksi, pelayanan, konflik, sekaligus tempat berjalannya roda sosial-ekonomi.
Minimal, Pj Peratin harus tinggal di kecamatan yang sama. Ini bukan tuntutan muluk. Ini adalah bentuk kewarasan sistem. Jika seorang Pj tidak tinggal di satu kecamatan, maka ia tak layak dipercaya memimpin, karena kehilangan konteks lokal yang sangat penting.
Ia tidak akan paham siapa tokoh adat yang dihormati warga. Ia tidak tahu kapan musim panen dan masalah irigasi. Ia bahkan mungkin tidak mengenali wajah para pemuda yang gelisah karena minimnya lapangan kerja.
Kebijakan Penunjukan yang Kaku: Gagal Total Membangun Pekon
Kita harus jujur: seringkali penunjukan Pj Peratin lebih mempertimbangkan “siapa yang bisa”, bukan “siapa yang pantas.” Asal bisa duduk, asal bisa tanda tangan, asal bisa dikontrol—maka jabatan diberikan. Padahal, pekon bukan kantor kelurahan. Ia punya adat, karakter, dan kompleksitas hubungan sosial yang tidak bisa dipahami orang luar dalam semalam.
Lantas, mengapa tidak diberi kesempatan kepada tokoh lokal yang lahir dan besar di pekon itu sendiri? Yang sudah paham medan dan logika sosial masyarakatnya? Mengapa harus dipaksakan kepada orang luar yang bahkan belum hapal peta dusun?
Rakyat Sudah Cerdas, Jangan Diperbodoh dengan Kepemimpinan Absen
Warga pekon kini sudah cerdas. Mereka tahu kapan pemimpinnya benar-benar bekerja, dan kapan hanya hadir untuk upacara formal. Ketika Pj Peratin tak bisa hadir dalam rapat mendadak, tidak datang ke rumah duka, atau bahkan tak tahu lokasi tanah ulayat, rakyat tahu: mereka sedang dipimpin oleh bayangan jabatan, bukan pemimpin sejati.
Dan ini bukan hanya kegagalan personal Pj, tapi juga kegagalan struktural Pemerintah Daerah yang terlalu santai memilih pemimpin pekon seperti sedang main undian.
Penutup: Kembalikan Martabat Pekon Lewat Kepemimpinan yang Berakar
Jika pemerintah ingin pekon maju, maka tanamkan dulu pemimpinnya di tanah yang sama. Jangan biarkan pekon dipimpin oleh orang yang pulang pergi seperti pegawai lintas kabupaten. Jangan wariskan pada anak cucu kita sistem yang menempatkan pemimpin sebagai orang asing di rumah sendiri.
Kepemimpinan tanpa kedekatan adalah pengkhianatan.
Pj Peratin harus tinggal di tempat ia memimpin. Minimal di kecamatan yang sama. Kalau tidak, maka ia hanya tamu dengan hak tanda tangan — dan rakyat pun berhak kecewa.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan opini redaksi yang disusun berdasarkan pengamatan terhadap dinamika pemerintahan pekon di Lampung Barat. Segala pandangan, kritik, dan saran yang disampaikan bersifat subjektif dan bertujuan untuk mendorong evaluasi serta perbaikan kebijakan publik.
Opini ini tidak ditujukan untuk menyerang individu atau lembaga tertentu, melainkan sebagai bentuk kontrol sosial yang sah dalam sistem demokrasi.
Redaksi menjunjung tinggi asas keberimbangan dan terbuka terhadap hak jawab dari pihak-pihak yang ingin memberikan tanggapan. (*)
- Penulis: Admin
Saat ini belum ada komentar