Rahmat dan Realitas Pendidikan di Pelosok: Bambang Kusmanto Dorong Solusi Manusiawi
- account_circle Admin
- calendar_month Rab, 30 Jul 2025
- comment 0 komentar

Lampung Barat, LambarXpose.com– Satu lagi kisah pilu tentang pendidikan datang dari wilayah perbatasan Kabupaten Lampung Barat. Seorang anak bernama Rahmat, yang tinggal di Kecamatan Lumbok Seminung, terpaksa menghentikan langkahnya menuju bangku SMP, meski sempat mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMP Negeri 1 Lumbok Seminung.
Rahmat sebelumnya telah dinyatakan diterima di sekolah tersebut. Ia bahkan mengikuti kegiatan belajar selama dua minggu bersama teman-teman barunya. Namun di tengah semangat yang sedang tumbuh, ia dipanggil pihak sekolah dan diminta berhenti bersekolah karena diketahui usianya melampaui batas maksimal lima bulan dari ketentuan penerimaan siswa baru.
Kakeknya, Darsa, dengan suara lemah mengisahkan bagaimana cucunya kini terlihat seperti kehilangan arah.
“Cucu saya semangat sekali waktu pertama masuk sekolah. Tapi setelah dua minggu, saya dipanggil sekolah dan diminta mengistirahatkan Rahmat karena usianya. Mereka bilang, kalau mau lanjut, kami harus ubah identitas,” ujar Darsa, Selasa (29/7/2025).
“Kami ini orang susah, Pak. Untuk makan sehari-hari saja pas-pasan, bagaimana mau ngurus ubah-ubah identitas?” tambahnya pelan.
Kini, Rahmat lebih sering menghabiskan waktu memancing di tepi Danau Ranau. Ia duduk sendiri, memandangi danau yang tenang, namun di dalam hatinya mungkin sedang bergejolak karena impian sederhananya—bersekolah—direnggut oleh sistem yang dingin dan tanpa kompromi.
Kisah Rahmat yang menyentuh ini akhirnya sampai ke telinga Anggota DPRD Lampung Barat dari Partai NasDem, Bambang Kusmanto. Ia menyatakan keprihatinan mendalam dan menilai kasus ini sebagai cermin bahwa masih ada celah besar antara regulasi dan realitas di lapangan.
“Saya sangat sedih mendengar kabar ini. Kita sedang bicara tentang anak yang semangat sekolah, bukan tentang manipulasi data atau penyimpangan. Lalu, apakah layak semangat itu dipadamkan hanya karena usia lewat lima bulan?” ungkap Bambang.
Ia menegaskan bahwa aturan memang penting, namun keadilan sosial dan perasaan kemanusiaan harus tetap menjadi bagian dari setiap kebijakan.
“Pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Negara tidak boleh absen hanya karena aturan. Kalau sistem terlalu kaku, maka manusialah yang harus turun tangan untuk memberi jalan,” ujarnya tegas.
Bambang mengungkapkan bahwa dirinya telah berkomunikasi langsung dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Lampung Barat, meminta agar kasus Rahmat segera dicarikan solusi yang tidak menyakiti hati anak-anak dan keluarganya.
“Saya punya keyakinan penuh bahwa Dinas Pendidikan Lampung Barat akan mengambil langkah terbaik untuk menyelesaikan persoalan ini secara bijak dan manusiawi. Saya juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang sebesar-besarnya atas respon cepat dan perhatian yang telah ditunjukkan oleh jajaran Dinas Pendidikan. Ini bukti bahwa kita semua, baik eksekutif maupun legislatif, memiliki komitmen yang sama: memastikan tidak ada anak di Lampung Barat yang kehilangan haknya untuk belajar hanya karena soal teknis atau administrasi. Kita percaya, dengan semangat gotong royong dan kepekaan sosial, mimpi anak-anak di pelosok negeri akan tetap terjaga dan mendapat tempat yang layak di ruang pendidikan.”
Lebih jauh, Bambang mengusulkan adanya kebijakan afirmatif untuk daerah-daerah terpencil, agar tidak semua kebijakan pusat diterapkan secara kaku tanpa mempertimbangkan kondisi sosial dan geografis setempat.
“Anak-anak di Lumbok Seminung, di Suoh, di Pagar Dewa. mereka semua punya hak yang sama untuk belajar, walau jalan ke sekolah tidak semudah di kota. Justru mereka yang harus kita prioritaskan,” ujarnya penuh empati.
Bambang juga mengingatkan agar para pemangku kepentingan di bidang pendidikan—baik sekolah, dinas, maupun pemerintah daerah—tidak hanya mematuhi regulasi secara teknis, tapi juga peka terhadap nilai-nilai keadilan dan hak anak.
“Jangan sampai ada anak yang dipaksa berhenti sekolah hanya karena tidak terdata di Dapodik. Apa artinya sistem, kalau ia mengorbankan harapan seorang anak kecil di pinggiran danau?” tuturnya.
Ia berharap, kisah Rahmat menjadi pelajaran bersama. Bahwa di balik berkas dan data, ada anak-anak yang membawa mimpi, dan bahwa tanggung jawab kita sebagai bangsa adalah menjaga agar mimpi itu tetap menyala.
Kasus Rahmat bukan sekadar cerita tentang angka usia dan data siswa. Ini adalah cermin tentang betapa kebijakan harus hadir dengan wajah manusiawi, dan bukan menjadi tembok yang menghalangi generasi masa depan.
Suara Bambang Kusmanto adalah suara banyak orang tua di pelosok negeri ini—yang hanya ingin melihat anak-anaknya duduk di bangku sekolah, meski dengan seragam sederhana dan sandal jepit.
“Biarkan anak-anak kita bermimpi. Tugas kita adalah membuka jalan, bukan menutup harapan,” pungkas Bambang. (Red)
- Penulis: Admin
Saat ini belum ada komentar