Media Online di Ujung Luka: Ketika Pemerintah Daerah Memelihara Kesenjangan yang Tak Masuk Akal
- account_circle Admin
- calendar_month Rab, 2 Jul 2025
- comment 0 komentar

Foto : Ilustrasi/Net
OPINI, LambarXpose.com – Di era digital yang seharusnya membuka ruang kesetaraan, justru ketimpangan kian nyata. Media online-yang selama ini menjadi garda terdepan dalam menyampaikan informasi tercepat, termurah, dan terluas—masih terus menjadi anak tiri di mata pemerintah daerah se-Indonesia.
Bukan hanya di Lampung Barat, bukan hanya di satu provinsi. Fenomena ini terjadi hampir merata di seluruh pelosok negeri. Dari Sumatra hingga Papua, dari kabupaten ke kabupaten: media online tetap saja dipandang sebelah mata dalam skema kerjasama publikasi pemerintah.
Padahal, jika bicara dampak dan jangkauan, siapa yang bisa membantah dominasi media online hari ini? Informasi dari portal berita digital menyebar dalam hitungan detik. Namun sayangnya, nilai kerjasama yang diberikan justru tak mencerminkan nilai strategis tersebut. Jangankan disetarakan, mencapai 30 hingga 50 persen dari alokasi media konvensional pun tidak.
“Kadang kami hanya dapat bagian sisa, seperti ampas yang tercecer setelah proyek kerjasama utama dibagi-bagikan,” ungkap seorang pemilik media online lokal dari Sumatera Barat, menahan getir.
Kesenjangan yang Tak Bisa Lagi Ditutupi
Berbagai laporan tak resmi menyebutkan, dalam skema APBD tahunan, alokasi belanja jasa publikasi masih didominasi oleh media cetak dan televisi lokal. Tak jarang, satu surat kabar cetak dengan oplah ratusan eksemplar bisa mengantongi kerjasama hingga ratusan juta, sementara belasan media online hanya berbagi recehan dari total anggaran yang bahkan tak mencapai 20 persen.
Ironis, ketika media cetak tak lagi terbaca luas, dan televisi lokal terbatas jangkauan, justru media online yang aktif 24 jam dan paling dicari masyarakat di internet, dibiarkan bertahan dengan anggaran yang jauh dari adil.
Di satu kabupaten di Jawa Tengah, seorang pemilik media online menyebut, “Kami hanya diberi kerjasama Rp2 juta per tahun, sementara media cetak bisa puluhan juta, padahal pembaca kami bisa lima kali lipat lebih banyak.”
Peran Organisasi Media Online: Dibungkam atau Diuji?
Organisasi-organisasi yang menaungi media online kini dihadapkan pada ujian eksistensial. Apakah mereka benar-benar mampu memperjuangkan hak anggotanya, atau sekadar jadi simbol seremonial yang hadir di saat pelatihan dan seminar?
Di saat peran organisasi dibutuhkan untuk menuntut keadilan, pemerintah justru bermain aman dengan menghindari regulasi transparan soal alokasi anggaran media.
“Kami sudah kirim proposal, hadir dalam forum resmi, ikut setiap undangan diskusi, tapi tetap saja, anggaran kerjasama media seolah dibagi berdasarkan ‘kedekatan’ bukan kebutuhan atau dampak,” ujar salah satu Ketua Forum Media Online.
Di Mana Etika Pemerintah Daerah?
Pemerintah daerah sering bicara soal pemerataan informasi, keterbukaan publik, dan era digitalisasi. Tapi ketika bicara soal kemitraan konkret dengan media, justru masih menggunakan paradigma lama: siapa yang dekat, siapa yang bisa “mengerti”, itulah yang diberi porsi lebih.
Lantas, di mana etika? Di mana keadilan?
Apakah media online harus diam, harus tunduk, hanya karena mereka tidak bisa membawa kamera besar dan bendera televisi?
Apakah media online tidak layak diberi kepercayaan karena mereka tidak punya gedung redaksi bertingkat, padahal isinya tetap jurnalis, tetap wartawan, tetap menulis berita dengan integritas?
Kami Bukan Pelengkap. Kami Penjaga Gerbang Informasi Publik.
Sudah waktunya pemerintah daerah di seluruh Indonesia menyusun ulang cara pandang terhadap media. Bukan berdasarkan bentuk fisik medianya, tapi berdasarkan kontribusi, jangkauan, dan kualitasnya.
Media online bukan sekadar pelengkap di daftar mitra. Kami adalah penjaga pintu informasi publik, yang hari ini dibiarkan berdiri di luar pagar pesta anggaran.
Catatan Redaksi:
Ini bukan sekadar keluhan. Ini jeritan yang tertahan terlalu lama. Jika tak ada perubahan dalam waktu dekat, jangan heran jika media online hanya jadi saksi bisu-dan pada akhirnya, memilih diam dalam luka yang tak pernah disembuhkan.(*)
- Penulis: Admin
Saat ini belum ada komentar